Hi quest ,  welcome  |  sign in  |  registered now  |  need help ?

PK IMM Syari'ah dan Hukum Adakan Diskusi Rutin

Written By immsleman on Senin, 22 Desember 2014 | 02.50


Sabtu sore (29/11/2014), bidang Keilmuan dan Riset (Intelektual) PK IMM Syariah dan Hukum mengadakan diskusi rutin umum. Tradisi keilmuan bagi kader IMM akan selalu diupayakan dalam berbagai kegiatan. Salah satu langkah yang dilakukan adalah dengan mengadakan kegiatan diskusi secara rutin. Bertempat di Masjid Kampus UIN Sunan KaliJaga Yogyakarta, para kader antusias berdialektika dalam satu forum. Diskusi merupakan satu momentum yang tepat agar daya kritis kader semakin terasah, sehingga lebih peka terhadap realitas sosial di sekitarnya. Terlebih kegiatan ini dimaksudkan sebagai wujud nyata kader IMM yang berpegang teguh pada landasan religiusitas, intelektualitas, dan humanitas. Diskusi Rutin keilmuan ini dihadiri oleh 11 kader, mengangkat tema, “Perkawinan Muslim dengan Non-Muslim (Perkawinan Beda Agama)”, dengan pemateri Muhammad Ainul Fatah Al Kiromi, Kabid Tabligh dan Dakwah PMII. Mengundang pemateri dari PMII sebagai ajang mengenal antara kader IMM maupun PMII. Pemeteri menyingung perkawinan beda agama dari perspektif Undang-Undang, Perkawinan Muslim dengan Non-Muslim (Perkawinan Beda Agama) Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak mengatur perkawinan beda agama. Hal ini menimbulkan multitafsir.
            Secara tersirat tidak dibolehkan karena UU tersebut menempatkan keabsahan suatu perkawinan kepada agama masing-masing. Apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Kesimpulan ini diambil karena agama yang terdapat di Indonesia tidak ada yang membenarkan perkawinan beda agama. Perkawinan beda agama adalah perkawinan yang tidak dikehendaki oleh UU Perkawinan. Hukum Islam yang ditempatkan UU Perkawinan sebagai dasar keabsahan perkawinan bagi umat Islam memunculkan ketentuan yang berbeda mengenai perkawinan beda agama antara pria muslim dengan dengan wanita ahli kita. Al-Qur’an, membolehkannya, sementara Kompilasi Hukum Islam melarangnya.
            Dalam perspektif agama islam, masalah perkawinan beda agama, membahas non-muslim ada dua macam, yaitu orang musyrik dan ahli kitab. Orang yang tidak beragama termasuk kategori orang musyrik. Allah SWT berfirman:
Artinya: “Orang orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (Mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan agamanya) sebelum dating kepada mereka bukti yang nyata.” ( Q.S. Al-Bayyinah 98 : 1)
Orang muslim, baik laki-laki maupun perempuan dilarang kawin dengan orang-orang musyrik, kecuali jika orang–orang musyrik itu telah beriman. Allah SWT berfirman:
Artinya: “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman, sesungguhnya wanita budak yang mukimin lebih baik dari wanita musyrik walaupun mereka menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik ( dengan wanita-wanita Mukmin), sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang Mukmin lebih baik dari orang – orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke Surga dan ampunan dengan izinnya…” (QS. Al-Baqarah 2 : 221)
            Mengenai ahli kitab, Allah SWT Melarang perkawinan laki-laki ahli kitab dengan wanita muslim, sedang laki-laki mukmin boleh kawin dengan wanita ahli kitab, sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah SWT QS. Al-Maidah 5 : 5 yang :
 Artinya: “Pada hari ini dihalalkan bagimu segala yang baik-baik. Makanan (sembelihan) Ahli Kitab itu halal bagimu, dan makananmu halal bagi mereka. Dan (dihalalkan bagimu menikahi) perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara perempuan-perempuan yang beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu.”
Yang dimaksud dengan ahli kitab ialah penganut agama yang menjadikan kitab Taurat dan Injil sebagai kita suci mereka. Taurat dan Injil yang sekarang telah banyak masuk ke dalamnya perkataan-perkataan orang yang hidup beberapa puluh tahun setelah Nabi Musa a.s dan Nabi Isa a.s meninggal dunia, sehingga tidak diketahui lagi mana yang merupakan firman Allah dan mana yang bukan.[]
Oleh : Halimatus Sa’diyah
PK IMM Syari’ah dan Hukum
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

0 komentar:

Posting Komentar