Sabtu sore (29/11/2014), bidang Keilmuan dan Riset (Intelektual) PK IMM Syariah dan Hukum mengadakan diskusi rutin umum. Tradisi keilmuan bagi kader IMM akan selalu diupayakan dalam berbagai kegiatan. Salah satu langkah yang dilakukan adalah dengan mengadakan kegiatan diskusi secara rutin. Bertempat di Masjid Kampus UIN Sunan KaliJaga Yogyakarta, para kader antusias berdialektika dalam satu forum. Diskusi merupakan satu momentum yang tepat agar daya kritis kader semakin terasah, sehingga lebih peka terhadap realitas sosial di sekitarnya. Terlebih kegiatan ini dimaksudkan sebagai wujud nyata kader IMM yang berpegang teguh pada landasan religiusitas, intelektualitas, dan humanitas. Diskusi Rutin keilmuan ini dihadiri oleh 11 kader, mengangkat tema, “Perkawinan Muslim dengan Non-Muslim (Perkawinan Beda Agama)”, dengan pemateri Muhammad Ainul Fatah Al Kiromi, Kabid Tabligh dan Dakwah PMII. Mengundang pemateri dari PMII sebagai ajang mengenal antara kader IMM maupun PMII. Pemeteri menyingung perkawinan beda agama dari perspektif Undang-Undang, Perkawinan Muslim dengan Non-Muslim (Perkawinan Beda Agama) Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak mengatur perkawinan beda agama. Hal ini menimbulkan multitafsir.
Secara
tersirat tidak dibolehkan karena UU tersebut menempatkan keabsahan suatu
perkawinan kepada agama masing-masing. Apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Kesimpulan ini diambil karena
agama yang terdapat di Indonesia tidak ada yang membenarkan perkawinan beda
agama. Perkawinan beda agama adalah perkawinan yang tidak dikehendaki oleh UU
Perkawinan. Hukum Islam yang ditempatkan UU Perkawinan sebagai dasar keabsahan
perkawinan bagi umat Islam memunculkan ketentuan yang berbeda mengenai
perkawinan beda agama antara pria muslim dengan dengan wanita ahli kita.
Al-Qur’an, membolehkannya, sementara Kompilasi Hukum Islam melarangnya.
Dalam
perspektif agama islam, masalah perkawinan beda agama, membahas non-muslim ada
dua macam, yaitu orang musyrik dan ahli kitab. Orang yang tidak beragama
termasuk kategori orang musyrik. Allah SWT berfirman:
Artinya: “Orang orang kafir yakni ahli kitab
dan orang-orang musyrik (Mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan
agamanya) sebelum dating kepada mereka bukti yang nyata.” ( Q.S.
Al-Bayyinah 98 : 1)
Orang muslim, baik laki-laki maupun perempuan
dilarang kawin dengan orang-orang musyrik, kecuali jika orang–orang musyrik itu
telah beriman. Allah SWT berfirman:
Artinya: “Dan janganlah kamu menikahi
wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman, sesungguhnya wanita budak yang mukimin
lebih baik dari wanita musyrik walaupun mereka menarik hatimu. Dan janganlah
kamu menikahkan orang-orang musyrik ( dengan wanita-wanita Mukmin), sebelum
mereka beriman. Sesungguhnya budak yang Mukmin lebih baik dari orang – orang
musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah
mengajak ke Surga dan ampunan dengan izinnya…” (QS. Al-Baqarah 2 : 221)
Mengenai
ahli kitab, Allah SWT Melarang perkawinan laki-laki ahli kitab dengan wanita
muslim, sedang laki-laki mukmin boleh kawin dengan wanita ahli kitab,
sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah SWT QS. Al-Maidah 5 : 5 yang :
Artinya:
“Pada hari ini dihalalkan bagimu segala yang baik-baik. Makanan (sembelihan)
Ahli Kitab itu halal bagimu, dan makananmu halal bagi mereka. Dan (dihalalkan
bagimu menikahi) perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara
perempuan-perempuan yang beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga
kehormatan di antara orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu.”
Yang dimaksud dengan ahli kitab ialah penganut agama yang menjadikan kitab Taurat dan
Injil sebagai kita suci mereka. Taurat dan Injil yang sekarang telah banyak
masuk ke dalamnya perkataan-perkataan orang yang hidup beberapa puluh tahun
setelah Nabi Musa a.s dan Nabi Isa a.s meninggal dunia, sehingga tidak diketahui
lagi mana yang merupakan firman Allah dan mana yang bukan.[]
Oleh : Halimatus Sa’diyah
PK IMM Syari’ah dan Hukum
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
0 komentar:
Posting Komentar