Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah
merupakan bagian elemen gerakan kemahasiswaan (ekstra kampus) di
Indonesia. dan organisasi otonom dari persyarikatan Muhammadiyah yang
bergerak di kalangan masyarakat kampus. Didirikan di yogyakarta pada
tanggal 14 Maret 1964. Sesungguhnya ada dua faktor integral yang menjadi
dasar dan latar belakang sejarah berdirinya IMM, yaitu faktor intern
dan faktor ekstern. Yang dimaksud dengan faktor intern adalah faktor
yang terdapat dan ada dalam organisasi Muhmmadiyah itu sendiri.
Sedangkan faktor ekstern adalah hal-hal dan keadaan yang datang dari dan
berada di luar Muhammadiyah, yaitu situasi dan kondisi kehidupan umat
dan bangsa serta dinamika gerakan organisasi-organisasi mahasiswa.
Faktor intern sebetulnya lebih dominan dalam bentuk
motivasi idealis dari dalam, yaitu dorongan untuk mengembangkan
ideologi, paham, dan cita-cita Muhammadiyah. Untuk mewujudkan cita-cita
dan merefleksikan ideologinya itu, maka Muhammadiyah mesti bersinggungan
dan berinteraksi dengan berbagai lapisan dan golongan masyarakat yang
majemuk. Ada masyarakat petani, pedagang, birokrat, intelektual,
profesional, mahasiswa. dan sbagainya.
Interaksi dan persinggungan Muhammadiyah dengan mahasiswa untuk
merealisasikan maksud dan tujuannya itu, cara dan strateginya bukan
secara langsung terjun mendakwahi dan mempengaruhinya di kampus-kampus
perguruan tinggi. Tetapi caranya adalah dengan menyediakan dan membentuk
wadah khusus yang bisa menarik animo dan mengembangkan potensi
mahasiswa. Anggapan mengenai pentingnya wadah bagi mahasiswa tersebut
lahir pada saat Muktamar ke-25 Muhammadiyah (Kongres Seperempat Abad
Kelahiran Muhammdiyah) pada tahun 1936 di Jakarta. Pada kesempatan itu
dicetuskan pula cita-cita besar Muhammadiyah untuk mendidirkan
universitas atau perguruan tinggi Muhammadiyah.
Namun demikian, keinginan untuk menghimpun dan membina
mahasiswa-mahasiswa Muhammadiyah tersebut tidak bisa langsung terwujud,
karena pada saat itu Muhammadiyah belum memiliki perguruan tinggi
sendiri. Untuk menjembataninya, maka para mahasiswa yang sepaham, atau
mempunyai alam pikiran yang sama, dengan Muhammadiyah itu diwadahi dalam
organisasi otonom yang telah ada seperti NA dan Pemuda Muhammadiyah,
serta tidak sedikit pula yang berkecimpung di HMI. Pada tanggal 18
November 1955, Muhammadiyah baru bisa mewujudkan cita-citanya untuk
mendirikan perguruan tinggi yang sejak lama telah dicetuskannya pada
tahun 1936, yaitu dengan berdirinya Fakultas Hukum dan Filsafat di
Padang Panjang. Pada tahun 1958, fakultas serupa dibangun di Surakarta;
kemudian di Yogyakarta berdiri Akademi Tabligh Muhammadiyah; dan
Fakultas Ilmu Sosial di Jakarta, yang kemudian berkembang menjadi
Universitas Muhammadiyah Jakarta. Kendati demikian, cita-cita untuk
membentuk organisasi bagi mahasiswa muhammadiyah tersebut belum bisa
terbentuk juga pada waktu itu. Kendala utamanya karena Muhammadiyah—yang
waktu itu masih menjadi anggota istimewa Masyumi—terikat Ikrar Abadi
umat Islam yang dicetuskan pada tanggal 25 Desember 1949, yang salah
satu isinya menyatakan satu-satunya organisasi mahasiswa Islam adalah
HMI.
Sejak kegiatan pendidikan tinggi atau perguruan tinggi Muhammadiyah
berkembang pada tahun 1960-an itulah kembali santer ide tentang perlunya
organisasi yang khusus mewadahi dan menangani mahasiswa. Sementara itu,
menjelang Muktamar Muhammadiyah Setengah Abad di Jakarta pada tahun
1962, mahasiswa-mahasiswa perguruan tinggi Muhammadiyah mengadakan
Kongres Mahasiswa Muhammadiyah di Yogyakarta. Dari kongres ini pula
upaya untuk membentuk organisasi khusus bagi mahasiswa Muhammadiyah
kembali mengemuka. Pada tanggal 15 Desember 1963 mulai diadakan
penjajagan berdirinya Lembaga Dakwah Mahasiswa yang idenya berasal dari
Drs. Mohammad Djazman, dan kemudian dikoordinir oleh Ir. Margono, dr.
Soedibjo Markoes, dan Drs. A. Rosyad Sholeh.
Dorongan untuk segera membentuk wadah bagi mahasiswa Muhammadiyah juga
datang dari para mahasiswa Muhammadiyah yang ada di Jakarta seperti
Nurwijoyo Sarjono, M.Z. Suherman, M. Yasin, Sutrisno Muhdam dan yang
lainnya. Dengan banyaknya desakan dan dorongan tersebut, maka PP Pemuda
Muhammadiyah—waktu itu M. Fachrurrazi sebagai Ketua Umum dan M. Djazman
Al Kindi sebagai Sekretaris Umum—mengusulkan kepada PP Muhammadiyah—yang
waktu itu diketuai oleh K.H. Ahmad Badawi—untuk mendirikan organisasi
khusus bagi mahasiswa yang diiberi nama Ikatan Mahasiswa
Muhammadiyah—atas usul Drs. Mohammad Djazman yang--, dan kemudian
disetujui oleh PP Muhammadiyah serta diresmikan pada tanggal 14 Maret
1964 (29 Syawwal 1384). Peresmian berdirinya IMM itu resepsinya diadakan
di gedung Dinoto Yogyakarta; dan ditandai dengan penandatanganan "Enam
Penegasan IMM" oleh K.H. Ahmad Badawi, yang berbunyi:
Menegaskan bahwa IMM adalah gerakan mahasiswa Islam;
Menegaskan bahwa kepribadian Muhammadiyah adalah landasan perjuangan IMM;
Menegaskan bahwa ilmu adalah amaliah dan amala adalah ilmiah;
Menegaskan bahwa amal IMM adalah lilLahi Ta'ala dan seenantiasa diabdikan untuk kepentingan rakyat.
Sedangkan faktor ekstern berdirinya IMM berkaitan dengan situasi dan
kondisi kehidupan di luar dan di sekitar Muhammadiyah. Hal ini paling
tidak bertalian dengan keadaan umat Islam, kehidupan berbangsa dan
bernegara rakyat Indonesia, serta dinamika gerakan mahasiswa.
Keadaan dan kehidupan umat Islam waktu itu masih banyak dipenuhi oleh
tradisi, paham, dan keyakinan yang tidak sesuai dengan ajaran Islam yang
sesungguhnya. Keyakinan dan praktek keagamaan umat Islam, termasuk di
dalamnya adalah mahasiswa, banyak bercampur baur dengan takhayul,
bid`ah, dan khurafat.
Sementara itu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara juga tengah
terancam oleh pengaruh ideologi komunis (PKI), keterbelakangan,
kemiskinan, kebodohan, dan konflik kekuasaan antar golongan dan partai
politik. Sehingga, kendati waktu itu Indonesia telah merdeka selama
kurang lebih 20 tahun, namun tidak bisa mencerminkan makna dan cita-cita
proklamasi kemerdekaan. Demokrasi dan kedaulatan rakyat terkungkung,
sementara tirani kekuasaan dan otoritarianisme merajalela akibat
kebijakan demokrasi terpimpin ala Soekarno.
Keadaan politik Indonesia sekitar awal sampai dengan pertengahan tahun
'60-an, tulis Cosmas Batubara, sangat menarik. Banyak pengamat politik
yang mengatakan bahwa perkembangan dan kehidupan politik saat itu
diwarnai oleh tiga pelaku politik yang amat dominan, yaitu: Diri pribadi
Presiden soekarno; ABRI (terutama sekali angkatan Darat); dan PKI.
Ketiga kekuatan politik tersebut sangat mewarnai dan mempengaruhi
perilaku dan orientasi kehidupan berbangsa, dan bernegara di berbagai
lapisan dan kelompok masyarakat. Di kalangan organisasi mahasiswa,
orientasi dan perilaku politiknya juga terbagi ke dalam tiga kekuatan
dominan tadi. Organisasi mahasiswa yang secara tajam mengikuti garis
Presiden Soekarno adalah GMNI, dan yang sejalan dengan garis ABRI adalah
HMI, PMKRI, dan SOMAL (Sekretariat Organisasi-Organisasi Mahasiswa
Lokal). Sedangkan yang mengikuti dan mendukung garis PKI adalah CGMI
(Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia). Di tengah kemelut dan
pertentangan garis politik tersebut, pergolakan organisasi-organisasi
mahasiswa sampai dengan terjadinya G30S 1965 terlihat menemui jalan
buntu dalam mempertahankan partisipasinya di era kemerdekaan RI. Pada
waktu itu sejak Kongres Mahasiswa Indonesia di malang pada tanggal 8
Juni 1947, organisais-organisasi mahasiswa seperti HMI, PMKRI (Persatuan
Mahasiswa Katholik Republik Indonesia), PMKI (Persekutuan Mahasiswa
Kristen Indonesia; yang pada tahun 1950 berubah menjadi GMKI [Gerakan
Mahasiswa Kristen Indonesia]), PMJ (Persatuan Mahasiswa Jogjakarta), PMD
(Persatuan Mahasiswa Djakarta), MMM (Masyarakat Mahasiswa Malang), PMKH
(Persatuan Mahasiswa Kedokteran Hewan), dan SMI (Serikat Mahasiswa
Indonesia) berfusi ke dalam PPMI (Perserikatan Perhimpunan-Perhimpunan
Mahasiswa Indonesia) yang bersifat independen. Independensi PPMI sebagai
penggalang kekuatan anti-imperialisme pada mulanya berjalan kompak.
Tetapi setelah mengadakan Konferensi Mahasiswa Asia Afrika (KMAA) di
Bandung tahun 1957—yang menjadi prestasi puncak PPMI—masing-masing
organisasinya kemudian memisahkan diri. Hal ini karena pada tahun 1958
PPMI menerima CGMI, selundupan PKI, yang kemudian melancarkan aksi
intervensi untuk mempengaruhi organisasi mahasiswa lain agar keluar dari
PPMI. Akhirnya , karena kuatnya pengaruh dan intervensi dari CGMI
tersebut, maka masing-masing organisasi dalam PPMI memisahkan diri. Pada
bulan oktober 1965, setelah PKI dilumpuhkan, PPMI akhirnya secara resmi
membubarkan diri. Sasaran gerakan CGMI sebetulnya ingin mendominasi
gerakan mahasiswa dan kehidupan kampus serta ingin menyingkirkan
organisasi-organisasi mahasiswa Islam seperti HMI.
Sesungguhnya sebelum PPMI membubarkan diri, antara tahun 1964 sampai
1965 masing-masing organisasi mahasiswa yang berfusi di dalamnya
bersikap sok revolusioner. Pada akhirnya HMI juga tidak ketinggalan
untuk menjadi bagian dari kekuatan revolusioner. Menurut Deliar Noer,
waktu itu HMI dengan keras turut menyanyikan senandung Demokrasi
Terpimpin. Slogan-slogan Soekarno mulai dikumandangkan seperti "Nasakom
jiwaku", "revolusioner", dan "ganyang Malaysia". Bahkan pada tahun 1964
HMI memecat beberapa anggota penasihatnya yang telah alumni karena tidak
sesuai dengan revolusi. HMI juga mengecam keras Kasman Singodimedjo
yang sedang menghadapi pengadilan di Bogor dan menuntut dihukum
sekeras-kerasnya bila bersalah.
Kendati HMI telah berusaha menunjukkan eksistensi dirinya sebagai bagian
dari kekuatan revolusioner, namun tetap saja HMI menjadi sasaran CGMI
dan/atau PKI untuk dibubarkan. Pada saat saat HMI terdesak itulah Ikatan
mahasiswa Muhammadiyah lahir pada tanggal 14 maret 1964 (29 Syawal 1384
H). Itulah sebabnya muncul persepsi yang keliru bahwa IMM dibentuk
adalah sebagai persiapan untuk menampung aggota-anggota HMI kalau
terjadi dibubarkan. Persepsi yang keliru ini dikaitkan dengan dekatnya
hubungan HMI dengan Muhammadiyah. Sebagaimana diketahui bahwa HMI pada
mulanya didirikan dan dibesarkan oleh orang-orang Muhammadiyah, maka
kalau HMI dibubarkan Muhammadiyah harus menyediakan wadah lain.
Persepsi tersebut adalah keliru, karena kelahiran IMM salah satu faktor
historisnya adalah justru untuk membantu dan mempertahankan eksistensi
HMI supaya tidak mempan dengan usaha-usaha PKI yang ingin
membubarkannya. Sebab, kalau kelahiran IMM diperuntukkan untuk mengganti
HMI jika dibubarkan, maka IMM tidak perlu repot-repot terlibat dalam
beraksi menentang PKI yang mau membubarkan HMI. Di antara praduga
mengapa kehadiran IMM dalam sejarah gerakan mahasiswa dipersoalkan
adalah karena sangat dekatnya kelahiran IMM—kendati ide dasarnya sudah
ada sejak tahun 1936—dengan peristiwa G 30 S/PKI. Sehingga muncul
pertanyaan (yang menggugat), mengapa IMM yang baru lahir sudah langsung
terlibat dalam peristiwa nasional dan sejarah besar dalam pergulatan
bangsa melawan dan menghancurkan PKI. Pada tahun 1965, IMM juga ikut
bergabung dalam wadah KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia), dan
Slamet Sukirnanto, salah seorang tokoh DPP IMM, pada saat dibentuknya
KAMI menjadi salah satu Ketua Presidium Pusat KAMI. IMM sendiri pada
masa-masa awal berdiriya tidak luput dari ancaman dan teror PKI. Reaksi
jahat dari PKI terhadap kelahiran IMM tersebut tidak saja tejadi di
pusat, tetapi juga di daerah-daerah. Untuk menyelamatkan eksistensi IMM
yang baru berdiri itu, maka dalam kesempatan audiensi dan silaturahmi
dengan Presiden Soekarno di Istana Negara Jakarta pada tanggal 14
Februari 1965 DPP IMM meminta restunya. "Saja beri restu kepada Ikatan
Mahasiswa Muhammadijah", demikian pernyataan yang ditandatangai oleh
Presiden Soekarno. Karena IMM merupakan kebutuhan intern dan ekstern
Muhammadiyah, maka tokoh-tokoh PP Pemuda Muhammadiyah yang sebelumnya
bergabung dengan HMI kembali, sekaligus untuk membina dan mengembangkan
IMM. Dalam hal ini juga muncul klaim dan persepsi yang keliru, bahwa IMM
dilahirkan oleh HMI. Tokoh-tokoh Pemuda Muhammadiyah khususnya yang
terlibat menghembangkan HMI, karena waktu itu IMM belum ada. Sementara
keterlibatan mereka di HMI adalah untuk mengembangkan ideologi
Muhammadiyah. Buktinya setelah sekian lama ada di HMI, ternyata HMI yang
sudah dimasuki oleh mahasiswa dari berbagai kalangan ormas keislaman
itu pada akhirnya berbeda dengan orientasi Muhammadiyah. Oleh karena itu
adalah wajar jika pada akhirnya mereka kembali ke Muhammadiyah
sekaligus untuk turut mengembangkan IMM. Hal ini seperti yang terjadi di
Yogyakarta, Jakarta, Riau, Padang, Ujungpandang dan lain lain. Juga
perlu dicatat bahwa para tokoh PP Pemuda Muhammadiyah dan NA yang
terlibat dalam mengusahakan terbentunya IMM sejak awal sampai berdirinya
adalah mereka yang betul-betul tidak pernah terlibat dalam HMI.
Berdirinya IMM berdasarkan perjalanan sejarahnya tersebut adalah karena
tuntutan dan keharusan sejarah (historical nessecity) dalam kontek
kehidupan umat, bangsa, dan negara serta dinamika gerakan mahasiswa di
Indonesia. Adapun maksud berdirinya IMM adalah: 1. Turut memelihara
martabat dan membela kejayaan bangsa; 2. Menegakkan dan menjunjung
tinggi agama Islam; 3. Sebagai upaya untuk menopang, melangsungkan, dan
meneruskan cita-cita pendirian Muhammadiyah; 4. Sebagai pelopor,
pelangsung, dan penyempurna cita-cita pembaruan dan amal usaha
Muhammadiyah; 5. Membina, meningkatkan, dan memadukan iman dan ilmu
serta amal dalam kehidupan bangsa, umat, dan persyarikatan.
Dinamika Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Seperti halnya
organisasi-organisasi lain, dalam karier sejarahnya IMM mengalami
dinamika gerakan yang naik turun dan pasang surut. Selama lebih dari
tiga setengah dasawarsa ini, IMM telah mengalami empat periode gerakan.
Pertama, periode pergolakan dan pemantapan (1964-1971). Kedua, periode
pengembangan (1971-1975). Ketiga, periode tantangan (1975-1985).
Keempat, periode kebangkitan (1985-?).
Dalam periode pergolakan dan pemantapan ini, IMM yang masih sangat muda
harus berhadapan dengan situasi dan kondisi sosial, politik, ekonomi,
budaya di tengah kehidupan berbangsa, bernegara dan beragama yang sangat
rawan dan kritis. IMM pada saat itu langsung berhadapan dengan
kebijakan Manipol Usdek Bung Karno, Nasakom, dan ancaman PKI. Dalam
periode ini kegiatan-kegiatan IMM lebih banyak diarahkan kepada
pembinaan personil, penguatan organisasi, pembentukan dan pengembangan
IMM di kota-kota maupun perguruan tinggi. Dalam periode ini pula pola
gerakan, prinsip perjuangan dan perangkat organisasi IMM berhasil
ditetapkan.
Dalam periode ini telah terselenggara tiga kali Musyawarah Nasional
(Muktamar) dan empat kali Konferensi Nasional (Tanwir) serta terbentuk
lima kali formasi kepemimpinan IMM. Selama periode ini Mohammad Djazman
Al-Kindi terus menjadi Ketua Umum DPP IMM. Kepemimpinan pertama (DPP
Sementara) pra-Munas berlangsung dari tahun 1964-1965, dengan Ketuanya
Mohammad Djazman Al-Kindi. Kepemimpinan kedua (1965-1967) adalah hasil
Munas I di Surakarta (1-5 Mei 1965). Ketua Umum: Mohammad Djazman
Al-Kindi; dan Sekretaris Jendral: A. Rosyad Sholeh. Kepemimpinan ketiga
hasil reshuffle pada pertengahan 1966, Ketua Umumnya tetap; dan Soedibjo
Markoes menjadi Pejabat Sekjen. Kepemimpinan keempat (1967-1969) hasil
Munas II di Banjarmasin (26-30 November 1967), Ketua Umum tetap; dan
Sekjennya adalah Syamsu Udaya Nurdin. Kepemimpinan kelima hasil
reshuffle pada Konfernas di Magelang (1-4 Juli 1970), Ketua Umum-nya
masih tetap; sedangkan yang menjadi Sekjen adalah Bahransyah Usman.
Selain Djazman, tokoh-tokoh awal IMM lainnya yang terkenal di antaranya
seperti: A. Rosyad Sholeh, Soedibjo Markoes, Mohammad Arief, Sutrisno
Muhdam, Zulkabir, Syamsu Udaya Nurdin, Nurwijoyo Sarjono, Basri Tambun,
Fathurrahman, Soemarwan, Ali Kyai Demak, Sudar, M. Husni Thamrin, M.
Susanto, Siti Ramlah, Deddy Abu Bakar, Slamet Sukirnanto, M. Amien Rais,
Yahya Muhaimin, Abuseri Dimyati, Marzuki Usman, Abdul Hadi W.M. Machnun
Husein, dll.
Peran dan kehendak IMM untuk meneguhkan dan memantapkan eksistensinya
secara signifikan dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara serta
untuk kepentingan ummat dan Muhammadiyah selama periode ini tampak
menonjol, baik melalui pernyataan deklarasi-deklarasinya—seperti
Deklarasi Kota Barat 1965 dan Deklarasi Garut 1967—maupun dengan
aktivitas kegiatan dan artikulasi gerakannya. Mulai tahun 1971-1975
disebut sebagai periode pengembangan, karena masalah-masalah yang
menyangkut konsolidasi pimpinan dan organisasi tidak terlalu banyak
dipersoalkan. Orientasi kegiatan dan dinamika gerakan IMM sudah mulai
banyak diarahkan pada pengembangan organisasi seperti melalui
program-program sosial, ekonomi, dan pendidikan. Dinamika gerakan IMM
ini semakin memperteguh concern IMM terhadap masalah-masalah kehidupan
mahasiswa, umat, dan bangsa di tengah gejolak sosial dan modernisasi
pembangunan. Hal ini misalnya seperti yang dinyatakan dalam Deklarasi
Baiturrahman 1975, maupun dalam hasil rumusan pemikiran dari Munas dan
Konferensi IMM. Dalam periode ini hanya terjadi satu kali suksesi
kepemimpinan di tingkat DPP IMM. Munas III di Yogyakarta (14-19 Maret
1971) menghasilkan A. Rosyad Sholeh sebagai Ketua Umum; dan Machnun
Husein sebagai Sekjen. Kemudian Konfernas V di Padang memutuskan
penambahan personalia staf DPP IMM, yaitu: Alfian Darmawan, Abbas Sani,
Maksum Saidrum, Ajeng Kartini, Dahlan Rais, Ahmad Syaichu, dan Arief
Hasbu.
Dalam periode ini pula terjadi peristiwa penting yang mewarnai
keberadaan IMM, yaitu dalam hal pembentukan KNPI (Komite Nasional Pemuda
Indonesia) dan peristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Januari 1974).
Waktu itu IMM tidak diakui sebagai salah satu pencetus kelahiran KNPI
(23 Juli 1973), karena tidak ikut menandatangani Deklarasi Pemuda
Indonesia sebagai landasan berdirinya KNPI. Sementara, pembuat dan
perumus Deklarasi Pemuda Indonesia itu adalah Slamet Sukirnanto, salah
seorang anggota DPP IMM, yang waktu itu tidak bersedia menandatangani
deklarasi tersebut atas nama IMM. Ketidakikut sertaan Slamet Sukirnanto
menandatangani deklarasi tersebut, dikarenakan pembentukan wadah
generasi muda itu semula adalah secara perorangan dan sekedar sebagai
wadah komunikasi antara generasi muda serta keanggotaannya bersifat
pribadi. Namun ternyata pada saat penandatanganan harus mengatasnamakan
organisasi. Dalam hal inilah letak persoalannya. Secara organisatoris,
Slamet Sukirnanto menolak menandatangani deklarasi itu, tetapi secara
pribadi ia bersedia. Ketika terjadi peristiwa Malari—yang berakibat pada
tindakan represif terhadap gerakan mahasiswa--, maka pada tanggal 16
Januari 1974 IMM mengirim surat kepada Presiden Soeharto untuk
mengadakan referendum dalam upaya mencari kebenaran obyektif mengenai
kebijaksanaan yang dilakukan oleh pemerintah. Upaya ini diharapkan dapat
tetap menjaga keutuhan persatuan serta kepentingan bangsa dan negara
yang lebih besar jangan sampai menjadi korban para pemegang policy.
Dalam menghadapi aksi Malari tersebut, IMM berharap agar pemerintah
tidak memadamkan aspirasi dan idealisme mahasiswa.
Di antara ide dan gagasan pemikiran IMM pada periode ini adalah mengenai
pendidikan. Dalam hal ini IMM menyadari bahwa pendidikan adalah suatu
usaha "human investmen" yang penting untuk melukis dan mewarnai masa
depan bangsa. Pendidikan merupakan salah satu unsur terpenting untuk
menumbuhkan dan membina mental attitude bangsa. Kemudian mengenai
masalah organisasi mahasiswa, IMM berpendapat bahwa keberadaannya harus
berfungsi sebagai organisasi kader dan sekaligus dakwah. Karena itu
organisasi mahasiswa harus menganut asas potensi, partisipasi,
keluwesan, dan kesederhanaan.
Sedangkan dalam hal generasi muda, IMM berpendangan bahwa pembinaannya
harus senantiasa dikaitkan dengan strategi pembangunan nasional yang
berjangka panjang. Untuk itu perlu adanya pembauran antara konsep
generasi muda sebagai pelanjut dengan konsep generasi muda sebagai
pembaharu. Demikian pula halnya dengan perpaduan antara pengertian kader
dan pioner.
Setelah melewati periode pergolakan dan pemantapan serta pengembangan,
pada tahun 1975-1985 IMM berada dalam periode tantangan. Dalam periode
ini Muktamar IV IMM di Semarang (21-25 Desember 1975), menghasilkan
Zulkabir sebagai Ketua Umum; dan M. Alfian Darmawan sebagai Sekjen.
Dalam periode ini IMM sebetulnya tidak menghadapi konflik atau tantangan
yang berarti, yang menyebabkan organisasi ini mengalami stagnasi. Namun
persoalannya terletak pada terjadinya kevakuman kepemimpinan di tingkat
nasional (DPP IMM) selama lebih kurang satu dasawarsa. Selama periode
ini di tingkat DPP tidak terjadi suksesi dan regenerasi kepemimpinan,
atau dengan kata lain tidak terselenggara musyawarah nasional atau
muktamar, yang seharusnya berlangsung pada tahun 1978.
Kevakuman dan terjadinya kemandegan IMM di DPP ini menimbulkan
keprihatinan dan keheranan bagi banyak pihak, khususnya di kalangan
Muhammadiyah dan ortomnya. Pada tahun 1983, H.S. Prodjokusumo misalnya
menanggapi masalah ini dalam tulisannya IMM Bangkitlah. Kemudian dengan
nada menyindir dan dalam gaya personifikasi—tanpa bisa menutupi
kekecewaannya tehadap IMM—Umar Hasyim menulis: "Merenungi sejarahmu,
kita jadi heran, ketika sejak Muktamar ke-4 tahun 1975 itu anda dengan
lelapnya tidur nyenyak selama sepuluh tahun, karena pada bulan April
1986 engkau baru berhasil bermuktamar dan memilih kepengurusan DPP lagi.
Sungguh luar biasa sekali, suasana dunia dimana anda berada ini
demikian gegap gempitanya, tetapi anda bisa lelap tidur." Namun
demikian, kendati di tingkat DPP terjadi kevakuman, justru di bawahnya
IMM tetap eksis dan bergerak. Aktivitas kegiatan, program kerja, dan
kaderisasi di tingkat bawah itu terus berjalan. Kevakuman DPP IMM tidak
mempengaruhi aktivitas IMM di Daerah, Cabang, dan Komisariat. Identitas
IMM ternyata begitu kuat melekat pada jiwa para pimpinan dan kader IMM
di bawah. Di level bawah IMM masih tetap tumbuh subur. Meski berada
dalam periode tantangan, IMM masih tetap berusaha untuk melahirkan ide
dan gagasan pemikirannya. Di antara ide dan gagasannya itu adalah
mengenai perlunya Menteri Negara Urusan Pemuda. Ide dan gagasan
pemikiran tersebut berangkat dari latar belakang kemahasiswaan dan
kepemudaan yang tidak mempunyai saluran yang semestinya. Untuk itulah
IMM mengusulkan kepada Presiden Soeharto untuk mengnagkat seorang
Menteri Negara Urusan Pemuda yang menyelenggarakan dan membina
komunikasi dengan seluruh eksponen generasi muda. Kemudian, ketika
terjadi Keputusan 15 November 1978 (KNOP 15), IMM mengusulkan perlunya
pengendalian dan pengarahan konsumsi masyarakat. Hal ini mengingat telah
terjadinya bentuk konsumsi yang non-esensial dan tidak produktif. Di
samping itu, perlunya perlindungan dan pembinaan industri kecil agar
dapat bersaing dengan industri besar, oleh IMM dikemukakan kepada
pemerintah. Demikian pula halnya dengan pemerataan pendapatan dan
kesempatan kerja perlu diperhatikan oleh pemerintah. Setelah mengalami
kevakuman dan kemandegan selama satu dasawarsa itu, maka pada tahun 1985
IMM mulai memasuki periode kebangkitan. Periode ini dimulai dengan
adanya SK PP Muhammadiyah No. 10/PP/1985 tertanggal 31 Agustus 1985
tentang pembentukan DPP (Sementara) IMM. DPP(S) ini terdiri dari:
Ketua : Immawan Wahyudi (DIY)
Ketua I : Drs. Anwar Abbas (DKI)
Ketua II : Drs. M. Din Syamsuddin (DKI)
Ketua III : Farid Fathoni AF (Surakarta)
Sekretaris I : Mukhlis Ahasan Uji (DIY)
Sekretaris II : Nizam Burhanuddin (DKI)
Sekretarus III: Agus Syamsuddin (DIY)
Bendahara I : St. Daulah Khoiriati (DIY)
Bendahara II : Asmuyeni Muchtar (DKI)
Setelah dilantik pada tanggal 1 september 1985, DPP(S) IMM mulai menata
organisasi dan menjalankan aktivitasnya. Pada tanggal 7-10 desember 1985
DPP(S) berhasil mengadakan Tanwir ke-7 IMM di Surakarta. Tanwir yang
bertemakan "Bangkit dan Tegaskan Identitas Ikatan" ini pada akhirnya
mampu membangkitkan IMM dari tidurnya yang panjang. Hingga kemudian pada
tanggal 14-18 april 1986 DPP(S) berhasil menyelenggarakan Muktamar ke-5
IMM di Padang, Sumatra Barat. Selain pada akhirnya berhasil menyusun
kepengurusan DPP IMM yang baru periode 1986-1989 (Ketua Umum: Nizam
Burhanuddin; dan Sekjen: M. Arifin Nawawi), Muktamar V itu juga mampu
merumuskan konsep pengembangan wawasan bangsa dan umat kaitannya dengan
identitas Ikatan, penyusunan ulang sistem perkaderan, pengembangan
organisasi dan pembahasan program kerja. Dalam Muktamar V itu IMM juga
bisa menghasilkan Deklarasi Padang, yang mengartikulasikan visi dan
keberpihakan IMM terhadap masalah-masalah dunia internasional, umat
Islam di Indonesia, Muhammadiyah, IMM sendiri, serta pembinaan generasi
muda dan mahasiswa. Dalam periode kebangkitan ini IMM tidak lepas dari
halangan dan tantangan. Artikulasi gerakan IMM pun mengalami dinamika
dan fluktuasi. Dalam periode kebangkitan (sampai sekarang) ini IMM telah
mengalami beberapa kali Muktamar dan Tanwir, yang berperan untuk
menpertahankan eksistensi IMM dan menyinambungkan regenerasi
kepemimpinannya.
Muktamar VI di Ujungpandang (7-12 Juli 1989) menghasilkan DPP IMM
(periode 1989-1992), dengan M. Agus Samsudin sebagai Ketua Umum; dan
Fauzan sebagai Sekjen. Kemudian Tanwir VIII di Medan (24-28 April 1991),
memutuskan Abdul Al Hasyir sebagai Sekjen, menggantikan Fauzan. Pada
tanggal 25-31 Desember 1992 IMM berhasil menyelenggarakan Muktamar VII
di Purwokerto, yang menghasilkan Tatang Sutahyar W sebagai Ketua Umum;
dan Syahril Syah sebagai Sekjen untuk periode 1993-1995. Selanjutnya,
pada Tanwir IX di Palembang (7-11 Juli 1994) terjadi pergantian Ketua
Umum dari Tatang Sutahyar oleh Syahril Syah sebagai Pj. Ketua Umum, dan
Armyn Gultom sebagai Sekjen. Selanjutnya, pada tanggal 25-31 Maret 1995
IMM kembali mengadakan Muktamar VIII di Kendari yang berhasil memilih
Syahril Syah sebagai Ketua Umum dan Abd. Rohim Ghazali sebagai Sekjen
untuk periode 1995-1997. Kemudian pada tanggal 22 Februari-2 Maret 1997,
IMM kembali mengadakan Muktamar IX di Medan yang menghasilkan Irwan
Badillah sebagai Ketua Umum dan M. Irfan Islami Dj. sebagai Sekjen untuk
periode 1997-2000. Sampai sekarang IMM memiliki 26 DPD dan 115 PC,
serta anggota sebanyak kurang lebih 567.000 orang. Anggota IMM tersebut
tersebar di berbagai perguruan tinggi negeri dan swasta serta perguruan
tinggi Muhammadiyah khususnya. Artikulasi gerakan IMM tidak terbatas
dalam aktivitas dan pelaksanaan program-program kerja yang rutin belaka,
tetapi juga aktif dalam menyikapi dan merespons persoalan-persoalan
sosial-politik dan kemanusiaan, baik dalam skala lokal, nasional, maupun
global. Kepedulian dan keberpihakan IMM seperti ini, karena IMM tidak
ingin teralienasi oleh dinamika zaman dan terbawa arus secara pasif oleh
perubahan sosial yang terus bergulir. Begitu pula ketika terjadi
aksi-aksi gerakan reformasi yang banyak dilakukan kalangan mahasiswa dan
kaum intelektual pada tahun 1997, IMM tidak ketinggalan melibatkan diri
dan aktif bergerak di dalamnya. Baik di tingkat pusat maupun daerah,
bersama eksponen Angkatan Muda Muhammadiyah lainnya IMM bergerak untuk
mendukung dan menyukseskan aksi gerakan reformasi yang berhasil
melengserkan Presiden Soeharto dari tampuk kekuasaannya. Di Yogyakarta
misalnya IMM bergabung dalam Komnas AMM bersama organisasi otonom
lainnya dalam mengartikulasikan gerakan dan tuntutan reformasi. Selain
itu di beberapa Komisariat dan Korkom, IMM juga banyak mengadakan aksi
dan gerakan serupa. Begitu pula dengan IMM di daerah-daerah lainnya,
seperti di Jakarta yang menamakan gerakannya dengan FAKSI IMM (Front
Aksi untuk Reformasi). Di Surabaya dan Ujungpandang IMM ada dalam GEMPAR
(Gerakan Mahasiswa Pro Amien Rais) dsb. Selain itu, ketika akan
berlangsung jajak pendapat penentuan status Timor-Timur pada tanggal 30
Agustus 1999, IMM juga berpartisipasi aktif dalam pemantauannya. Pada
waktu akan, selama, dan sesudah berlangsung jajak pendapat tersebut IMM
telah mengirimkan Immawan Wachid Ridwan (Biro Kerjasama Luar Negeri dan
Hubungan Internasional DPP IMM) ke Timor-Timur untuk melakukan
pemantauan bersama LSM dan OKP lainnya.
Susunan dan Struktur Organisasi Seperti Muhammadiyah dan organisasi
otonom lainnya, secara vertikal IMM memiliki susunan organisasi mulai
dari tingkat pusat sampai komisariat. Lengkapnya: Komisariat, Cabang,
Daerah, dan Pusat. Kepemimpinannya disebut Pmpinan Komisariat (PK),
Pimpinan Cabang (PC), Dewan Pimpinan Daerah (DPD), dan Dewan Pimpinan
Pusat (DPP). Komisariat ialah kesatuan anggota dalam suatu
fakultas/akademi atau tempat tertentu. Cabang ialah kesatuan
komisariat-komisariat dalam suatu Daerah Tingkat II atau daerah
tertentu. Daerah ialah kesatuan cabang-cabang dalam suatu
Propinsi/Daerah Tingkat I. Pusat ialah kesatuan daerah-daerah dalam
Negara Republik Indonesia. Sebagai salah satu organisasi otonom
Muhammadiyah, maka masing-masing level dari susunan organisasi tersebut
mempunyai hubungan keorganisasian yang horizontal dengan Pimpinan
Muhammadiyah. DPP IMM dengan PP Muhammadiyah; DPD IMM dengan PW
Muhammadiyah; PC IMM dengan PD Muhammadiyah; dan PK IMM dengan PC/PR
Muhammadiyah.
Adapun struktur organisasi IMM, berdasarkan hasil Muktamar IX di Medan
adalah sebagai berikut. Mulai dari tingkat DPP sampai PK terdiri dari
Ketua Umum, Sekretaris Jenderal—khusus untuk DPP, sedang untuk DPD
sampai PK: Sekretaris Umum--, Bendahara Umum (bersama dua wakilnya);
ditambah dengan beberapa Ketua Bidang dan Sekretaris Bidang (Organisasi,
Kader, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Hikmah. Sosial Ekonomi, dan
Immawati). Struktur organisasi ini dibantu oleh sebuah biro, beberapa
lembaga studi, dan dua korps (Biro Kerjasama Luar Negeri dan Hubungan
Iternasional [hanya ada di DPP]; Lembaga Studi Kelembagaan dan
Pengembangan Organisasi; Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Sumber Daya
Kader; Lembaga Pengembangan Ilmu Agama dan Sosial Budaya; Lembaga
Penelitian, Pengkajian dan Penerapan Teknologi; Lembaga Pers IMM [hanya
ada di tingkat DPP dan DPD]; Lembaga Pengkajian Strategi dan Kebijakan;
Lembaga Kesejahteraan Rakyat dan Lingkungan Hidup; Lembaga Studi dan
Pengembangan Ekonomi Ummat [istilah lembaga hanya untuk DPP dan DPD,
sedang di PC menggunakan istilah departemen]; Korps Instruktur [hanya
ada di tingkat DPP sampai PC]; dan Korps Immawati). Kemudian di tingkat
PK, departemen yang ada adalah: Departemen Organisasi, Kader, Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi, Hikmah, dan Sosial Ekonomi.
Sampai saat ini IMM terdapat di 200 PTM (Perguruan Tinggi
Muhammadiyah) dan beberapa Non PTM, yakni di Perguruan Tinggi Negeri
(PTN) /PTS Se-Indonesia. Tak kurang sekitar 196 cabang dan 29 DPD IMM
Se-Indonesia.